Minggu, 20 Februari 2011

Paradoks Pemberdayaan Masyarakat Tani



(Sebuah Telaah Kritis Sebuah Naskah Akademik)

A.   Pendahuluan
Pertanian merupakan sektor yang masih menjadi primadona di indonesia, kondisi alam indonesia dengan identitasnya sebagai negara agraris seharusnya menjadikan pertanian sebagai identitas nasional. Sejalan dengan hal tersebut maka pertanian adalah sektor utama mata pencaharian penduduknya, hal ini dibuktikan dengan data penggunaan lahan yang cukup besar di negeri ini adalah penggunaan untuk bidang pertanian, yakni perkebunan dan tanaman pangan. Sayangnya, potensi yang dimiliki baik jumlah penduduk dan luas lahan yang tersedia tidak serta merta menjadikan pertanian merupakan sektor yang menjadi fokus perhatian pemerintah, pada masa orde baru, perhatian pemerintah hanya terjadi pada masa-masa awal Repelita I dan II itupun dengan konsekwensi kerusakan alam yang kronis akibat penggunaan bahan kimia yang simultan di aplikasikan demi target prestise swasembada.
Dalam aspek kesejahteraan petani, ternyata kualitas kehidupan petani Indonesia berada dalam kondisi memprihatinkan, masyarakat miskin baik standar BPS apalagi standar IMF mayoritas adalah petani, selain itu kepemilikan lahan yang terus berkurang, pola-pola kebijakan pertanian yang tidak sistematis, kelangkaan sarana dan prasarana, permasalahan penyuluhan, kurangnya pemahaman terhadap aspek hukum positif yang berlaku dan bebagai masalah-masalah lain yang belum terpecahkan dengan maksimal hingga saat ini, menjadikan petani Indonesia secara khusus dan pertanian Indonesia secara umum berada dalam level yang kritis. Berdasarkan fakta yang diurai di atas, ada sebuah konsep yang terus diupayakan, bahkan diperjuangkan untuk didifusi menjadi undang-undang dengan satu tujuan yakni menangkat harkat dan martabat petani indonesia kedalam derajat kehidupan yang lebih baik, konsep tersebut adalah pemberdayaan masyarakat petani (the empowerment of farmers society). Sebuah konsep besar yang bukan perkara mudah untuk dielaborasi dan diinisiasi di level lapangan
B.    Telaah Kritis Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat Tani merupakan sebuah proses perubahan pola pikir, perilaku dan sikap petani, dari petani subsisten menjadi petani modern yang berwawasan agribisnis, melalui proses pembelajaran berkelanjutan (sustainable learning). Pemberdayaan masyarakat tani dibangun berdasarkan konsep linier input-proses (kurikulum agribisnis, magang dan learning by doing)-output (petani modern berbasis agribisnis). Dari pengertian dan pola dasar yang dibangun ini, maka cakupan pemberdayaan petani meliputi: pemberdayaan kelembagaan petani, pemberdayaan kegiatan agribisnis berbasis pasar, usaha agribisnis yang menguntungkan, agribisnis berbasis kepercayaan jangka panjang, pemberdayaan menuju kemandirian dan daya saing usaha serta pemberdayaan kemitraan kontak usaha (sumber: naskah akademik undang-undang pemberdayaan dan perlindungan petani).
Harus diakui pernyataan di atas merupakan pernyataan yang ditulis oleh para ahli akademis bidang pertanian yang merupakan hasil pemikirannya yang mendalam, mereka mungkin saja merupakan orang-orang yang concern dan aware terhadap bidang pertanian, namun tidak ada salahnya jika sebuah pemikiran tersebut kita kritisi demi kemajuan bersama, hal-hal yang perlu dikritisi tersebut antara lain:
Pertama, tujuan mendasar pemberdayaan pertanian memang telah dengan gamblang diejawantahkan dalam pernyataan di atas, yakni terjadi perubahan baik pola pikir, sikap dan perilaku petani dari pertanian sub-sisten ke arah pertanian modern yang berbasis agribisnis. Perlu kita pahami konteks pertanian subsisten berarti merupakan pertanian yang seluruh hasilnya digunakan atau dikonsumsi sendiri oleh produsennya. Contoh: padi, jagung, ternak ayam yang dipelihara bertujuan untuk konsumsi sendiri, tidak ada maksud untuk dijual ke pasar. Pertanian subsisten secara murni pada saat ini dapat dikatakan sudah langka, hanya terdapat di daerah-daerah yang terisolasi seperti di Nias. Kalau hasil pertanian itu hanya cukup untuk dimakan  maka disebut subsistence level of living, dan kondisi ini sama dengan petani miskin, atau dalam konteks kecepatan adopsi inovasi, petani sub-sisten biasanya berada dalam level late majority dan atau level laggard (kuno).
Jika konteks pemberdayaan adalah mengarahkan petani sub-sisten menuju petani modern berbasis agribisnis, maka betapa tugas berat tengah menghadang di hadapan agen pemberdayaan karena hal ini berarti ibarat mengangkat batu dari dasar sumur ke atas gunung, perlu penanganan serius dan landasan konsep holistik serta pelaksanaan yang sistematis dan simultan. Bisa kita bayangkan merubah petani mapan dan petani semi sub-sisten menuju petani modern berwawasan agribisnis saja bukan perkara mudah, apalagi mengangkat harkat dan martabat petani sub-sisten (petani miskin) menuju petani modern. Solusi yang sebenarnya bisa diupayakan untuk pemberdayaan petani sub-sisten (miskin) adalah menjadikan mereka aware (sadar) untuk bergabung dengan komunitas kelompok, membuat sikap mental yang kuat untuk melakukan perubahan, bukan langsung menjadikan mereka menuju awang-awang petani modern.
Kedua, konsep linier pola dasar pemberdayaan input-proses (kurikulum, magang, learning by doing)-output (petani modern), tidak serta merta menjadikan petani berdaya (terjadi perubahan Pengatahuan, Sikap dan Keterampilan), tetapi ada faktor-faktor lain baik secara internal maupun eksternal yang secara holistik mempengaruhi perubahan petani. Kesadaran akan keadaan, latar belakang budaya dan pemahaman agama, sosio kultural dan tekad kuat untuk berubah menjadi faktor utama sebelum didapatnya input yang baik. Kebijakan pemerintah (mendorong/menekan), sarana prasarana, infrastruktur, kondisi sosial politik, dan orientasi pembangunan menjadikan faktor eksternal yang juga memberikan andil terhadap perubahan perilaku petani secara keseluruhan. Faktor penting lain yang juga tidak bisa lepas begitu saja adalah kesungguhan dan kualitas sumber daya agen pemberdayaan (baca:penyuluh pertanian) dalam memperjuangkan perubahan perilaku petani.
Ketiga, melakukan perubahan berarti melakukan pekerjaan dengan waktu yang tidak terbatas, memang dalam pernyataan di atas telah di uraikan dengan kata “melalui pembelajaran berkelanjutan” namun konteks ini juga harus diperhatikan seperti apa? Pendidikan berkelanjutan seyogyanya merupakan pendidikan yang secara sistematis menjadikan petani belajar untuk berubah secara bertahap, artinya diperlukan standar-standar perubahan petani, pola penilaiannya memang bisa melalui evaluasi, namun parameter standar apa yang digunakan untuk mengukur perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani belum bisa terdefinisi.
Keempat, cakupan pemberdayaan petani meliputi: pemberdayaan kelembagaan petani, pemberdayaan kegiatan agribisnis berbasis pasar, usaha agribisnis yang menguntungkan, agribisnis berbasis kepercayaan jangka panjang, pemberdayaan menuju kemandirian dan daya saing usaha serta pemberdayaan kemitraan kontak usaha, dari beberapa cakupan dalam pernyataan ini, ada beberapa hal yang semestinya masuk kedalam cakupan pemberdayaan masyarakat tani diantaranaya adalah: pemberdayaan networking kelembagaan petani, pengembangan perguliran dan membangun pengaruh kelembagaan terhadap lembaga lain yang belum terberdayakan atau individu tani yang masih enggan untuk bergabung kedalam kelembagaan petani, selain itu penguatan kelembagaan untuk mengantisipasi serangan impor komoditas pertanian akibat liberalisasi perdagangan juga perlu diperhatikan, penguatan bargaining position product, diverisifikasi pasar dan enlarger market share comodity juga patut untuk dijadikan perhatian dalam melakukan pemberdayaan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah peningkatan kualitas agen pemberdayaan yang menginfiltrasi masyarakat juga perlu ditingkatkan.
Akhirnya berbicara mengenai pemberdayaan berarti berbicara mengenai kesungguhan agen pemberdayaan dalam melakukan perubahan, perubahan yang bisa dicapai dengan tahapan-tahapan dengan parameter evaluasi yang distandarkan, petani subsisten (laggard) seharusny diupayakan menjadi petani yang mau bergabung terlebih dahulu dengan komunitas pertaniannya, mau membuka diri terhadap perubahan, petani yang mau membuka diri dan memiliki inovasi iniliah yang harus diupayakan untuk menjadi petani modern dan diarahkan untuk membantu petani-petani di level bawahnya untuk bersama-sama bangkit demi kemajuan bersama. Kemudian, berbicara mengenai pemberdayaan berarti berbicara mengenai landasan pola pikir holitstik banyak hal yang harus di sinergikan antara faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi, kemudian peningkatan kualitas agen pemberdayaan juga menjadi faktor penting untuk perubahan masyarakat tani menuju arah yang lebih baik, hal yang paling utama adalah pemberdayaan adalah konteks aplikasi, jadi marilah kita menjadi agen pemberdayaan masyarakat tani (penyuluh) dengan baik dan berorientasi pada kesejahteraan mereka (baca; petani).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar