Selasa, 08 Februari 2011

Sosped


POLEMIK KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA


A.        Pendahuluhan
Sejarah berdirinya Kraton Jogja yang kemudian menjadi kota Jogja, tidak digambarkan dengan bangunan monumental yang megah, melainkan poros historis "Krapyak-Keraton-Tugu". Di mana struktur kota Jogja memiliki simbol yang berdasar pada garis filosofis imajiner. Jogja pada umumnya memiliki empat komponen utama. Bentuk seperti ini disebut caturgatra tunggal atau empat komponen dalam suatu kesatuan. Keempat komponen itu adalah kraton, masjid, alun-alun, dan pasar. Kawasan Jeron Beteng (dalam beteng) yang dikelilingi Beteng Baluwarti (beteng pagar bata) mempunyai lima pintu gerbang yang disebut plengkung. Nama-nama kampung di Jeron Beteng biasanya menunjuk pada nama abdi dalem keraton yang tinggal di situ. Banyak pusaka budaya dan pusaka alam yang berharga di sini. Umumnya warga Jogja sendiri sudah memahami makna struktur kota yang memiliki filosofis simbolis yang berdasar pada garis imajiner Gunung Merapi- Tugu-Keraton-Panggung-Krapyak-Laut selatan.
Kelengkapan fisik, sarana, prasarana, estetik, etik, simbol, dan filosofis-religius eksistensinya mempunyai keterkaitan dengan berbagai rancangan sebagaimana fungsi dan maknanya. Ciri-ciri dan makna tersebut pada dasarnya melekat dalam elemen bangunan, ruang suatu bangunan, bangunan, kelompok bangunan, maupun lingkungannya. Jogja sebagai kota yang mempunyai ciri khas dan keunikan, secara khusus mempunyai struktur bermakna filosofis-simbolis, yaitu berdasarkan garis imajiner yang diyakini membentuk garis lurus.
Konfigurasi fisik poros sakral di dalam tata rakit kraton tersebut merupakan suatu bagian dari tata Kota Jogja. Secara historis-kultural bangunan-bangunan yang ada berorientasi pada keberadaan kraton, yaitu berada di dalam benteng dan lingkungan sekitarnya. Bangunan yang ada pun bercorak arsitektur jawa, antara lain berupa joglo, limasan, dan kampung. Penggalian pusaka Jeron Beteng dilakukan sebagai pelestarian peninggalan budaya untuk memperluas makna kraton sebagai simbol penting dari peninggalan budaya Kesultanan Jogja.
Proses interaksi sosial budaya masyarakat di dalam kota melahirkan kompleksitas produk budaya, baik budaya material (material culture) maupun budaya hidup (living culture) yang berupa pranata sosial, seni, adat-istiadat, etik, estetik, dan filosofis-religius. Wujud kompleksitas produk budaya pada satu sisi akan dijiwai dan sesuai dengan konteks, langgam, dan ikatan budayanya, di sisi lain juga memunculkan kemajemukan atau keragaman tinggalan budaya.

B.        Makna Keistimewaan
Bergulirnya isu pemerintahan monarkhi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang digulirkan pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditanggapi berbagai pihak dengan menyodorkan berbagai fakta sejarah. Antropolog UGM, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra mengatakan Presiden SBY tidak melihat dan kurang memahami sejarah hubungan Keraton dengan NKRI. Juga tak paham Keraton itu sebagai sebuah bagian dari identitas Yogyakarta serta masyarakatnya. mengusik sistem pemerintahan daerah di Yogyakarta.
Seperti halnya individu yang tak ingin kehilangan identitasnya, maka masyarakat Yogyakarta akan mempertaruhkan diri untuk identitas budaya tersebut. Pengamat Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, menyatakan, keistimewaan Yogyakarta bukan hanya pada soal pemilihan gubernur. Ia menjelaskan konsep Parardhya dimana Sultan dan Paku Alam ditempatkan sebagai institusi tersendiri di luar gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat. “Seperti Majelis Rakyat Papua, tetapi lebih kuat,” ujarnya. Kekuatan sultan, ujar Ari, nantinya terletak dari beberapa kewenangan yang dipegangnya. Sultan misalnya bewenang menentukan arah kebijakan Yogyakarta. Selain itu, Sultan juga diusulkan memiliki hak veto terhadap kebijakan yang telah dibuat oleh Dewan. Selain itu, keistimewaan Yogyakarta juga bisa diletakkan pada pengaturan tentang pertanahan di Yogyakarta.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. menyatakan, berdasar putusan Mahkamah tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, saat ini Yogyakarta merupakan satu-satunya daerah istimewa yang dimiliki Indonesia. “Yogyakarta menjadi daerah istimewa karena faktor sejarah,” ujar Mahfud. Namun putusan Mahkamah tersebut hanya menjelaskan soal definisi daerah istimewa dan daerah khusus, tanpa memberi perincian mengenai perlakuan dan hak-hak istimewa atau khusus daerah-daerah tersebut. “Itu yang harus dibuat undang-undangnya, dan itulah yang saat ini diributkan.” ujar Mahfud.
Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, menjelaskan bahwa Indonesia menganut sistem desentralisasi yang asimetris. “Sehingga tidak mutlak seragam, ada variasi di sana-sini,” ujarnya. “Yogyakarta istimewa secara eksekutif, itu saja”
Dalam format keistimewaan secara eksekutif, kata Jimly, Gubernur DIY tidak dipilih lewat pemilihan umum, melainkan berasal dari Kesultanan Yogyakarta. Keistimewaan ini, ujar Jimly, merupakan produk sejarah dan tidak pernah jadi masalah selama 65 tahun Indonesia berdiri.
Berbagai dokumen, yang antara lain diambil dari kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940 mengungkapkan asal muasal keistimewaan Yogyakarta, yaitu:
1.         Ada 250 bukti sejarah bahwa Yogyakarta berjuang sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2.         Yogyakarta kini adalah gabungan dari dua kerajaan, Kasultanan dan Pakualaman.
3.         Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dijabat oleh Sultan dan Adipati sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945.
Selanjutnya, ada kutipan isi kontrak yang masih menggunakan ejaan lama berikut ini:
AMANAT SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
1.    Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2.    Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
3.    Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta
Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

AMANAT SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM
Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
1.      Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2.      Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada di tangan Kami dan kekuasan
3.      Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.
Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

C.        Interaksi Sultan dengan Rakyat di Jogjakarta
Sultan dimata Rakyatnya
Keistimewaan Provinsi Yogyakarta tidak lahir begitu saja. Ada garis sejarah panjang yang membuat status Yogya menjadi berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Garis sejarah tentang meleburnya sebuah negeri besar di tanah Jawa.
Lewat Amanat 5 September tahun 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Mataram ketika itu, membuat maklumat menyatunya Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam jubah negara bernama Indonesia. Pernyataan itu memperkuat posisi Ngayogyakarta dan Pakualaman sebagai pusat pemerintahan. Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai gubernur dan Sri Paku Alam sebagai wakil.
Yogyakarta adalah Sultan dan Sultan adalah Yogyakarta. Nyaris mustahil memisahkan keduanya. Posisi Sultan sebagai Raja Yogya memiliki makna mendalam bagi mayoritas rakyat kota Gudeg ini. Sejak era kesultanan pertama hingga yang terakhir, hubungan antara rakyat dan rajanya begitu erat.
Lahirnya abdi-abdi dalem yang begitu loyal meski dengan upah tak lebih dari dua bungkus rokok menjadi bukti status Sultan sebagai raja adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Ada yang tak bisa dibayar dengan rupiah. Bahkan ada yang tak dibayar dengan apa pun. Bagi mereka, pengabdian kepada Kesultanan Yogya sendiri adalah sebuah kehormatan.
Banyak prosesi adat yang terkait erat dengan Kraton pun membuktikan betapa menyatunya rakyat dan sang raja. Ini adalah tradisi panjang yang telah ratusan tahun berjalan.
Malam 1 Syuro misalnya. Sebuah malam sakral bagi masyarakat Jawa. Momentum penting saat pergantian tahun yang tak sekadar pergerakan waktu. Bagi masyarakat Yogya, tahun berganti adalah proses perenungan. Tahun berganti adalah proses pembelajaran.
Begitu berharganya malam pergantian tahun dalam sistem kalender Jawa atau 1 Muharam dalam tarik Hijriah ini membuat ribuan rakyat Yogya tak terbebani tatkala harus menahan kantuk dan meninggalkan sejenak tempat tidur mereka. Warga Jogja memilih turut serta dalam ritual Topo Bisu Mubeng Beteng atau mengelilingi benteng kraton tanpa bersuara. Berbaur dengan abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tradisi ini adalah tradisi kuno. Ada berbagai versi mengenai sejarah Mubeng Beteng. Versi pertama menyebut Mubeng Beteng berkembang pada abad keenam sebelum Mataram Hindu. Ketika itu disebut Muser, Munjer atau mengelilingi titik pusat. Versi lain mengatakan Mubeng Beteng adalah tradisi masyarakat Islam di Jawa yang dimulai ketika Kerajaan Mataram berdiri.
Kala itu kraton membangun benteng dan selesai pada 1 Syuro. Untuk menjaga ancaman dari Kerajaan Pajang, para prajurit kraton pun rutin mengelilingi benteng. Agar tak terkesan militeristik, tugas mengelilingi benteng itu dilakukan tanpa suara atau membisu. Hanya doa-doa dirapalkan dalam hati.
Mubeng Beteng adalah satu dari begitu banyak tradisi yang menggambarkan betapa eratnya hubungan antara masyarakat dan Kesultanan. Hubungan yang memiliki sejarah panjang jauh sebelum Indonesia terbentuk dan Yogya masih berdiri tegak sebagai pusat dinasti Mataram.
Tanah Yogya adalah tanah raja yang tumbuh pesat sejak perjanjian Giyanti tahun 1755. Sebuah kesepakatan antara Belanda dan dinasti Mataram yang menghasilkan dua kerajaan. Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ketika itu Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengkubuwono I mendapat tanah di Yogyakarta. Kraton pun dibangun di wilayah hutan Beringin. Wilayah ini dianggap cukup baik karena diapit dua sungai sehingga terlindung dari kemungkinan banjir.
Dalam Kosmologi Jawa, kraton menjadi titik pusat dalam garis imajiner yang terdiri dari tiga pilar. Kraton tepat di tengah antara Gunung Merapi di utara dan laut di selatan.
Rakyat Yogya paham betul soal ini. Mereka menyadari menjadi bagian dari keagungan sembilan raja yang pernah hidup, termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono sepuluh yang hingga kini masih bertahta. Makam-makam kuno Raja Mataram juga menjadi bukti betapa jejak kemegahan Mataram tak pernah pudar. Menegaskan fakta bahwa Yogya adalah tanah priyayi yang melebur bersama rakyat. Dari dulu hingga kini.
Dan sebagai bagian sebuah kerajaan, rakyat Yogya tak pernah lepas dari berbagai macam prosesi adat. Berbagai persoalan yang menimpa Yogya disikapi dengan cara yang tak lari dari tradisi. Terlebih lagi ketika sistem penanggalan Jawa berakhir dan tahun akan berganti. Sebagian warga Yogya menggelar ritual tahunan. Berharap Sang Kuasa terus menjaga dan memberi berkah.

Sultan di Mata Rakyat Indonesia
Di mata rakyat Indonesia, Sultan dikenal sebagai Raja Jawa, penerus Majapahit, penerus kejayaan Nusantara. Dan memang kalau kita lihat atau rasakan, Yogyakarta adalah salah satu wilayah terkondusif yang aman dan tentram.
Yogyakarta adalah pusat dan cikal bakal dunia pendidikan, dan pusat budaya, serta menjadi cosmos nusantara yang sebenarnya. Sebenarnya rakyat Indonesia mengakui hal itu di dalam hatinya masing-masing.
Sultan di mata rakyat Indonesia, adalah sebagai politikus, memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan rasa keadilan, hanya saja banyak cara dilakukan oleh lawan politiknya (yang saat ini berkuasa) untuk menghalangi perjuangan Sultan.
Itu terbukti dari Pilpres tahun 2004 dan 2009, yang kita lihat adalah Sultan menerima perlakuan itu dengan hati tenang dan tidak ada dendam, itu karena beliau menyerahkan segala pilihan di tangan rakyat.
Sultan bukanlah orang yang ngoyo atau terlalu ambisius, Sultan berpendapat bahwa jika rakyat menghendaki Sultan jadi Presiden pasti hal itu akan terjadi, tanpa perlu rekayasa atau pencitraan yang dibuat-buat.

Sultan di Mata Dunia
Adalah penerus hubungan dengan kerajaan lainnya di dunia. Garis itu masih ada hingga kini, kita bisa melihat sejarah, ketika semua wilayah nusantara di kuasai Belanda, Sultan tidak mau menyerahkan Yogyakarta ke tangan Belanda.
Sultan tetap minta wilayah Yogyakarta di bawah kekuasaannya dan Pemerintah Belanda atau Ratu Belanda menobatkan dan mengkukuhkan kedudukan Sultan sebagai Sultan Yogyakarta, Jawa maupun Indonesia dan diakui di dunia Internasional.
Dan ketika nusantara jatuh ke tangan Jepang, kembali Sultan tidak mau menyerah kepada Jepang, dan beliau kembali dikukuhkan sebagai Sultan Yogyakarta, Jawa, Indonesia agar diakui oleh dunia internasional.

D.        Kesimpulan
Hubungan rakyat Yogyakarta dengan sultannya adalah manunggal, tak terpisahkan (atas dasar ajaran Jawa ‘manunggaling kawula lan gusti’). Olehkarenanya, inisiatif Sultan adalah suara rakyat sebab rakyat akan mendukungnya selama itu baik buat rakyat. Penyatuan-diri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan NKRI adalah keputusan Sultan (dan Pakualam) dan didukung rakyat karena mereka juga merasa senasib dengan rakyat di wilayah Nusantara lainnya. Jadi berdasarkan latar-belakang ini, jika wilayah kesultanan ini masuk dalam NKRI sudah sepatutnyalah sultannya menjadi pemimpin tertinggi dalam wilayah propinsi Istimewa ini. Ini adalah harmonisasi kehidupan penyatuan Yogyakarta (rakyat dan sultannya) dengan NKRI dari semenjak NKRI berdiri sampai dengan hari ini. Kapal tak berlayar, awal pun tak berlatar; hingga pada suatu ketika, sekonyong-konyong SBY melontarkan pertanyaannya masalah kemonarkian DIY (yang saya sebut di awal tulisan sebagai ‘hawa panas’) ke khalayak umum Indonesia. Adakah SBY mempertanyakan hal ini dalam kapasitasnya sebagai presiden RI atau sebagai seorang pribadi yang sedang bertanya-tanya kepada dirinya sendiri namun terdengar oleh orang banyak?
Apapun keadaannya, segala yang keluar dari mulut seorang presiden di depan umum adalah menyangkut kehidupan orang banyak dan wajib ditanggapi dengan serius. Marilah kita melihat kemungkinan-kemungkinan maksud di balik pertanyaan SBY mengenai kemonarkian DIY ini. Yang pertama, yaitu dia sedang menciptakan isu panas yang tujuannya untuk menarik perhatian orang banyak supaya mengalihkan perhatian kita pada sesuatu yang lebih penting dan mendesak yaitu penanggulangan kasus-kasus korupsi yang ada. Yang kedua, yaitu dia sedang membuka jalan supaya diadakan pemilihan umum kepala daerah DIY, yang berarti bahwa ada kemungkinan orang lain selain Sultan dan Pakulalam menjadi gubernur dan wakil gubernur DIY (di sini tentunya ada maksud kepentingan partainya sendiri atau partai-partai tertentu). Dan yang ketiga adalah, perpaduan kedua maksud tersebut.
Kita melihat bahwa pembumbungan masalah kemonarkian Yogyakarta oleh SBY bisa menjadi pemicu keretakan NKRI. Menurut hemat saya, SBY jangan mau melontarkan pernyataan-pernyataan sensitif seperti ini. Perihal kepemimpinan ‘monarki’ Yogyakarta bisa dipermasalahkan hanya apabila ada tututan dari masyarakat Yogyakarta sendiri yang misalnya tidak puas dengan sistem pemerintahan daerah yang misalnya saja menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan rakyat dan oleh karenanya mereka meminta pemerintah RI untuk menilik ulang sistemnya. Faktanya, sampai saat ini masyarakat Yogyakarta tidak mempunyai tuntutan seperti itu.
Sekarang mari kita lihat ke mana sebenarnya tujuan pengangkatan masalah kemonarkian Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh SBY ini? Pada hari Kamis, 2 Desember 2010, SBY dalam kapasitasnya sebagai presiden RI melakukan sebuah pidato yang ditayangkan di beberapa TV nasional yang tujuannya adalah untuk menjernihkan permasalahan yang muncul di masyarakat yaitu tanggapan-tanggapan hangat/panas mengenai pernyataannya mengenai kemonarkian DIY. SBY mengatakan bahwa pernyataannya tersebut mengandung arti seakan-akan menghalang-halangi Sultan untuk menjadi gubernur DIY untuk 5 tahun ke depan. Kemudian dalam pidatonya ini dia seakan hendak menunjukkan sikapnya yang sebenarnya dengan sangat-sangat menekankan bahwa menurut dia pribadi, Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah orang yang terbaik dan yang paling tepat untuk menjadi gubernur DIY di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar